Sahkah Shalat Makmum yang Mendahului atau Menyamai Imam?
May 14, 2019Di antara sejumlah persyaratan bermakmum adalah mengikuti imam dan tidak mendahuluinya. Pertanyaannya, bagaimana jika ada makmum yang menyalahi ketentuan itu? Bagaimana pula keabsahan shalat dan keutamaan berjamaahnya?
Secara umum, mendahului dan menyamai imam dapat dirinci ke dalam tiga hal: (1) dalam posisi; (2) dalam takbiratul ihram; (3) selain dalam posisi dan takbiratul ihram.
Pertama, mendahului dan menyamai imam dalam posisi. Syekh Sa‘id bin Muhammad dalam Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah, (Terbitan Darul Minhaj, Jeddah, Cetakan Pertama, 2004, jilid I, halaman 338) menyatakan, jika seorang makmum yakin bahwa posisinya mendahului imam maka shalatnya tidak sah, kecuali dalam kondisi darurat seperti ketakutan atau terancam.
Lebih lanjut, Syekh Sai‘id ibn Muhammad mengatakan, adapun yang menjadi acuan dalam menentukan posisi makmum adalah tumit yang jadi tumpuan beban tubuhnya. Posisi ini biasanya dilakukan tatkala makmum masih seorang diri, sehingga disunahkan berdiri di sebelah kanan imam.
Dalam posisi ini, tumit makmum tidak boleh lebih depan dari tumit imam. Sebab posisi itu menyebabkan shalatnya tidak sah. Sedangkan yang menjadi acuan bagi makmum yang shalat sambil duduk adalah kedua pantatnya; lambung bagi makmum yang shalatnya sambil tidur miring; dan kepala bagi makmum yang shalatnya telentang.
Berikut adalah petikan pernyataan Syekh Sa‘id ibn Muhammad yang dikemukakan dalam Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah:
فإن تقدم يقيناً عليه في غير شد خوف .. لم تصح؛ لخبر: "إنما جعل من الإمام ليؤتم به" و (الائتمام): الاتباع، أما لو شك فيه .. فلا يضر سواء جاء من خلفه، أم من أمامه. والعبرة في التقدم في القائم (بعقبه) أي التي اعتمد عليها من رجليه أو إحداهما، وهو مؤخر القدم مما يلي الأرض (أو بأليتيه إن صلى قاعداً) ولو راكباً (أو بجنبه إن صلى مضطجعاً) أو برأسه إن صلى مستلقياً
Artinya, “Jika makmum yakin mendahului imam, di luar situasi ketakuatan, maka tidak shalatnya, berdasarkan hadits, ‘Imam itu dibentuk hanya untuk dimakmumi (diikuti).’ Sehingga makmum yang ragu apakah posisinya mendahului atau tidak, adalah tidak mengapa, baik dirinya datang dari belakang imam atau dari depannya. Adapun yang menjadi acuan mendahului imam bagi makmum yang shalat berdiri adalah tumit. Maksudnya, tumit kedua kaki atau salah satu kaki yang dijadikan tumpuan. Tumit sendiri yakni bagian belakang telapak kaki yang menyentuh tanah. Atau, yang menjadi acuan adalah kedua pantat bagi makmum yang shalat sambil duduk, meskipun duduknya di atas sesuatu (seperti kursi, pen.); lambung bagi makmum yang shalat sambil tidur miring; kepala bagi makmum yang shalat sambil tidur telentang.”
Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika posisi makmum menyamai posisi imam? Jawabannya, walau tidak sampai membatalkan shalat, tetapi hal itu makruh dialakukan. Sedangkan perkara makruh yang dilakukan makmum saat berjamaah akan menghilangkan keutamaan berjamaah, kendati status makruhnya hanya pada bagian yang disamainya saja. Demikian menurut penulis Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah:
فإن ساواه كره كراهة مفوتة لفضيلة الجماعة فيما ساواه فيه فقط وكذا يقال في كل مكروه من حيث الجماعة
Artinya, “Jika posisi makmum dan imam sama, maka hukumnya makruh, sedangkan makruh dapat menghilangkan keutamaan berjamaah, meskipun status makruhnya hanya pada bagian yang mereka samai saja. Bahkan ada yang mengatakan, setiap perkara makruh yang dilakukan dalam berjamaah bisa menghilangkan keutamaan berjamaah.”
Untuk itu, agar shalatnya sah dan tidak makruh, maka makmum sendirian hendaknya berdiri di sebelah kanan imam lalu mundur sedikit, atau boleh juga mundur agak jauh selama tidak lebih dari tiga siku.
Kedua, mendahului imam dalam takbiratul ihram. Dalam Hâsyiyatul Bâjûrî, (Terbitan Maktabah Al-‘Ulumiyyah, Semarang, Tanpa Tahun, jilid I, halaman 197), Syekh Ibnu Qasim menyatakan, siapa pun yang mendahului takbiratul imam, maka shalatnya tidak sah. Demikian halnya membarengi imam.
Ini artinya, jika menyamai imam dalam hal posisi hanya sekadar makruh dan menghilangkan keutamaan berjamaah, namun menyamai imam dalam takbiratul ihram tidak ditolelir dan dapat membatalkan shalat.
Demikian pula jika seorang makmum ragu-ragu, apakah takbiratul ihramnya menyamai imam atau setelah imam, kemudian diyakini bahwa takbirnya setelah imam, namun ternyata setelah berselang lama dugaannya salah dan takbirnya mendahului imam, maka itu pun shalatnya batal. Karenanya, wajar jika Rasulullah saw. mewanti-wanti dalam urusan ini, “Janganlah kalian tergesa-gesa mengikuti imam. Setelah imam bertakbir, barulah kalian bertakbir.”
Alasannya, makmum yang takbiratul ihram sebelum imam, sejatinya bermakmum kepada orang yang belum masuk shalat. Sedangkan, masuknya shalat ditandai dengan sempurnanya takbiratul ihram. Adapun fatwa Imam Al-Baghawi yang menyatakan bahwa seorang yang takbiratul ihram dan belakangan ternyata diketahui imamnya belum takbir, maka shalatnya sah secara munfarid, adalah fatwa yang lemah.
Ketiga, mendahului dan menyamai imam selain dalam posisi dan takbiratul ihram. Maksudnya adalah mendahului atau menyamai imam dalam gerakan dan bacaan. Kembali dikemukakan oleh Syekh Ibnu Qasim, mendahului gerakan imam dua rukun berturut-turut, walaupun keadaan rukunnya adalah rukun pendek, seperti rukuk dan i‘tidal, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka menyebabkan shalatnya menjadi batal. Kecuali bila mendahuluinya tanpa disengaja, seperti tidak tahu gerakan imam atau karena lupa, maka itu ditolelir dan tidak menyebabkan batal.
Sama halnya dengan mendahului adalah meninggalkan diri dua rukun berturut-turut dari imam tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka itu pun juga menyebabkan batal. Berbeda halnya dengan mengakhirkan diri disertai alasan, seperti bacaannya kendor, sedangkan bacaan Fatihahnya belum selesai dan dia juga bukan makmum masbûq (ketinggalan), maka mengakhirkan diri yang demikian, selama tidak ketinggalan tiga rukun yang panjang, tidak sampai membatalkan shalat.
Hanya saja, walau menyamai gerakan imam tidak sampai membatalkan shalat, tetapi makruh hukumnya. Sedangkan perkara makruh yang dilakukan makmum saat berjamaah dapat menghilangkan keutaman berjamaahnya, kendati kehilangannya hanya pada rukun yang disamainya, tidak pada seluruh shalat.
Demikian juga menyamai imam dalam bacaan, seperti bacaan Surah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama shalat jahr dan salam, sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Qasim dalam Hâsyiyatul Bâjûrî, (Terbitan Maktabah al-‘Ulumiyyah, Semarang, Tanpa Tahun, jilid I, halaman 199) berikut ini.
ولا تضر مساواته لإمامه أى في صحة الإقتداء وإن كانت مكروهة مفوتة لفضيلة الجماعة فيما ساوى فيه كما لو قارنه في شيء من أقوال الصلاة وأفعالها التى يطلب فيها عدم المقارنة كالفاتحة والأولتين والسلام وجميع أفعال الصلاة في ابتدائها كأن يبتدئ الركوع معه ويبتدئ السجود معه وهكذا بخلاف دوامها ومعلوم أن التحرم لا بد أن يتأخر فيه عن إمامه احتياطا له
Artinya, “Tidak masalah makum menyamai imamnya. Dalam arti, tidak merusak keabsahan shalatnya. Hanya saja hal itu makruh dan menyebabkan hilangnya fadilah berjamaah, meskipun status makruhnya pada bagian yang disamainya saja. Demikian juga makruh andai makmum menyamai imam pada bacaan atau gerakan shalat yang dituntut untuk tidak membarengi imam dalam mengawalinya seperti pada bacaan Fatihah pada dua rakaat pertama, salam, dan semua gerakan shalat. Misalnya, dia mengawali rukuk atau mengawali sujud bareng dengan imam. Dan seterusnya. Bahkan, tidak dikatakan makruh lagi jika makmum selamanya membarengi imamnya. Apalagi, sudah dimaklumi bahwa dalam takbiratul ihram, makmum wajib mengakhirkan diri dari takbiratul ihram imam, sebagai bentuk kehati-hatian bagi dirinya.”
Berdasar petikan di atas, selayaknya seorang makmum, selain dalam takbiratul ihram, tidak mengawali gerakannya sebelum imam mengawalinya. Sebab, sebagaimana yang telah disampaikan, mengawali takbiratul ihram sebelum imam, atau juga membarenginya, dapat membatalkan shalat. Selain itu, imam sendiri ditetapkan untuk diikuti oleh makmum, sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, “Imam sendiri dibuat untuk diikuti (makmum). Karena itu, janganlah kalian menyalahinya,” (HR Malik).
Tak hanya itu, setiap makmum hendaknya takut akan peringatan Rasulullah SAW dalam hadits lainnya, “Apakah salah seorang di antara kalian yang mengangkat kepalanya saat imam masih sujud, tidak takut kepalanya diganti dengan kepala seekor himar?” (HR Ahmad).
Demikian uraian singkat tentang konsekuensi mendahului dan menyamai imam dalam shalat berjamaah. Semoga bermanfaat. Insya Allah, sejumlah persyaratan lain dalam berjamaah yang belum teruraikan di sini akan diuraikan pada kesempatan berikutnya. Wallahu a’lam.
Ustadz M Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Desa Jayagiri, Kecamatan Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat.
Di antara sejumlah persyaratan bermakmum adalah mengikuti imam dan tidak mendahuluinya. Pertanyaannya, bagaimana jika ada makmum yang menyalahi ketentuan itu? Bagaimana pula keabsahan shalat dan keutamaan berjamaahnya?
Secara umum, mendahului dan menyamai imam dapat dirinci ke dalam tiga hal: (1) dalam posisi; (2) dalam takbiratul ihram; (3) selain dalam posisi dan takbiratul ihram.
Pertama, mendahului dan menyamai imam dalam posisi. Syekh Sa‘id bin Muhammad dalam Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah, (Terbitan Darul Minhaj, Jeddah, Cetakan Pertama, 2004, jilid I, halaman 338) menyatakan, jika seorang makmum yakin bahwa posisinya mendahului imam maka shalatnya tidak sah, kecuali dalam kondisi darurat seperti ketakutan atau terancam.
Lebih lanjut, Syekh Sai‘id ibn Muhammad mengatakan, adapun yang menjadi acuan dalam menentukan posisi makmum adalah tumit yang jadi tumpuan beban tubuhnya. Posisi ini biasanya dilakukan tatkala makmum masih seorang diri, sehingga disunahkan berdiri di sebelah kanan imam.
Dalam posisi ini, tumit makmum tidak boleh lebih depan dari tumit imam. Sebab posisi itu menyebabkan shalatnya tidak sah. Sedangkan yang menjadi acuan bagi makmum yang shalat sambil duduk adalah kedua pantatnya; lambung bagi makmum yang shalatnya sambil tidur miring; dan kepala bagi makmum yang shalatnya telentang.
Berikut adalah petikan pernyataan Syekh Sa‘id ibn Muhammad yang dikemukakan dalam Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah:
فإن تقدم يقيناً عليه في غير شد خوف .. لم تصح؛ لخبر: "إنما جعل من الإمام ليؤتم به" و (الائتمام): الاتباع، أما لو شك فيه .. فلا يضر سواء جاء من خلفه، أم من أمامه. والعبرة في التقدم في القائم (بعقبه) أي التي اعتمد عليها من رجليه أو إحداهما، وهو مؤخر القدم مما يلي الأرض (أو بأليتيه إن صلى قاعداً) ولو راكباً (أو بجنبه إن صلى مضطجعاً) أو برأسه إن صلى مستلقياً
Artinya, “Jika makmum yakin mendahului imam, di luar situasi ketakuatan, maka tidak shalatnya, berdasarkan hadits, ‘Imam itu dibentuk hanya untuk dimakmumi (diikuti).’ Sehingga makmum yang ragu apakah posisinya mendahului atau tidak, adalah tidak mengapa, baik dirinya datang dari belakang imam atau dari depannya. Adapun yang menjadi acuan mendahului imam bagi makmum yang shalat berdiri adalah tumit. Maksudnya, tumit kedua kaki atau salah satu kaki yang dijadikan tumpuan. Tumit sendiri yakni bagian belakang telapak kaki yang menyentuh tanah. Atau, yang menjadi acuan adalah kedua pantat bagi makmum yang shalat sambil duduk, meskipun duduknya di atas sesuatu (seperti kursi, pen.); lambung bagi makmum yang shalat sambil tidur miring; kepala bagi makmum yang shalat sambil tidur telentang.”
Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika posisi makmum menyamai posisi imam? Jawabannya, walau tidak sampai membatalkan shalat, tetapi hal itu makruh dialakukan. Sedangkan perkara makruh yang dilakukan makmum saat berjamaah akan menghilangkan keutamaan berjamaah, kendati status makruhnya hanya pada bagian yang disamainya saja. Demikian menurut penulis Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah:
فإن ساواه كره كراهة مفوتة لفضيلة الجماعة فيما ساواه فيه فقط وكذا يقال في كل مكروه من حيث الجماعة
Artinya, “Jika posisi makmum dan imam sama, maka hukumnya makruh, sedangkan makruh dapat menghilangkan keutamaan berjamaah, meskipun status makruhnya hanya pada bagian yang mereka samai saja. Bahkan ada yang mengatakan, setiap perkara makruh yang dilakukan dalam berjamaah bisa menghilangkan keutamaan berjamaah.”
Untuk itu, agar shalatnya sah dan tidak makruh, maka makmum sendirian hendaknya berdiri di sebelah kanan imam lalu mundur sedikit, atau boleh juga mundur agak jauh selama tidak lebih dari tiga siku.
Kedua, mendahului imam dalam takbiratul ihram. Dalam Hâsyiyatul Bâjûrî, (Terbitan Maktabah Al-‘Ulumiyyah, Semarang, Tanpa Tahun, jilid I, halaman 197), Syekh Ibnu Qasim menyatakan, siapa pun yang mendahului takbiratul imam, maka shalatnya tidak sah. Demikian halnya membarengi imam.
Ini artinya, jika menyamai imam dalam hal posisi hanya sekadar makruh dan menghilangkan keutamaan berjamaah, namun menyamai imam dalam takbiratul ihram tidak ditolelir dan dapat membatalkan shalat.
Demikian pula jika seorang makmum ragu-ragu, apakah takbiratul ihramnya menyamai imam atau setelah imam, kemudian diyakini bahwa takbirnya setelah imam, namun ternyata setelah berselang lama dugaannya salah dan takbirnya mendahului imam, maka itu pun shalatnya batal. Karenanya, wajar jika Rasulullah saw. mewanti-wanti dalam urusan ini, “Janganlah kalian tergesa-gesa mengikuti imam. Setelah imam bertakbir, barulah kalian bertakbir.”
Alasannya, makmum yang takbiratul ihram sebelum imam, sejatinya bermakmum kepada orang yang belum masuk shalat. Sedangkan, masuknya shalat ditandai dengan sempurnanya takbiratul ihram. Adapun fatwa Imam Al-Baghawi yang menyatakan bahwa seorang yang takbiratul ihram dan belakangan ternyata diketahui imamnya belum takbir, maka shalatnya sah secara munfarid, adalah fatwa yang lemah.
Ketiga, mendahului dan menyamai imam selain dalam posisi dan takbiratul ihram. Maksudnya adalah mendahului atau menyamai imam dalam gerakan dan bacaan. Kembali dikemukakan oleh Syekh Ibnu Qasim, mendahului gerakan imam dua rukun berturut-turut, walaupun keadaan rukunnya adalah rukun pendek, seperti rukuk dan i‘tidal, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka menyebabkan shalatnya menjadi batal. Kecuali bila mendahuluinya tanpa disengaja, seperti tidak tahu gerakan imam atau karena lupa, maka itu ditolelir dan tidak menyebabkan batal.
Sama halnya dengan mendahului adalah meninggalkan diri dua rukun berturut-turut dari imam tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka itu pun juga menyebabkan batal. Berbeda halnya dengan mengakhirkan diri disertai alasan, seperti bacaannya kendor, sedangkan bacaan Fatihahnya belum selesai dan dia juga bukan makmum masbûq (ketinggalan), maka mengakhirkan diri yang demikian, selama tidak ketinggalan tiga rukun yang panjang, tidak sampai membatalkan shalat.
Hanya saja, walau menyamai gerakan imam tidak sampai membatalkan shalat, tetapi makruh hukumnya. Sedangkan perkara makruh yang dilakukan makmum saat berjamaah dapat menghilangkan keutaman berjamaahnya, kendati kehilangannya hanya pada rukun yang disamainya, tidak pada seluruh shalat.
Demikian juga menyamai imam dalam bacaan, seperti bacaan Surah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama shalat jahr dan salam, sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ibnu Qasim dalam Hâsyiyatul Bâjûrî, (Terbitan Maktabah al-‘Ulumiyyah, Semarang, Tanpa Tahun, jilid I, halaman 199) berikut ini.
ولا تضر مساواته لإمامه أى في صحة الإقتداء وإن كانت مكروهة مفوتة لفضيلة الجماعة فيما ساوى فيه كما لو قارنه في شيء من أقوال الصلاة وأفعالها التى يطلب فيها عدم المقارنة كالفاتحة والأولتين والسلام وجميع أفعال الصلاة في ابتدائها كأن يبتدئ الركوع معه ويبتدئ السجود معه وهكذا بخلاف دوامها ومعلوم أن التحرم لا بد أن يتأخر فيه عن إمامه احتياطا له
Artinya, “Tidak masalah makum menyamai imamnya. Dalam arti, tidak merusak keabsahan shalatnya. Hanya saja hal itu makruh dan menyebabkan hilangnya fadilah berjamaah, meskipun status makruhnya pada bagian yang disamainya saja. Demikian juga makruh andai makmum menyamai imam pada bacaan atau gerakan shalat yang dituntut untuk tidak membarengi imam dalam mengawalinya seperti pada bacaan Fatihah pada dua rakaat pertama, salam, dan semua gerakan shalat. Misalnya, dia mengawali rukuk atau mengawali sujud bareng dengan imam. Dan seterusnya. Bahkan, tidak dikatakan makruh lagi jika makmum selamanya membarengi imamnya. Apalagi, sudah dimaklumi bahwa dalam takbiratul ihram, makmum wajib mengakhirkan diri dari takbiratul ihram imam, sebagai bentuk kehati-hatian bagi dirinya.”
Berdasar petikan di atas, selayaknya seorang makmum, selain dalam takbiratul ihram, tidak mengawali gerakannya sebelum imam mengawalinya. Sebab, sebagaimana yang telah disampaikan, mengawali takbiratul ihram sebelum imam, atau juga membarenginya, dapat membatalkan shalat. Selain itu, imam sendiri ditetapkan untuk diikuti oleh makmum, sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW, “Imam sendiri dibuat untuk diikuti (makmum). Karena itu, janganlah kalian menyalahinya,” (HR Malik).
Tak hanya itu, setiap makmum hendaknya takut akan peringatan Rasulullah SAW dalam hadits lainnya, “Apakah salah seorang di antara kalian yang mengangkat kepalanya saat imam masih sujud, tidak takut kepalanya diganti dengan kepala seekor himar?” (HR Ahmad).
Demikian uraian singkat tentang konsekuensi mendahului dan menyamai imam dalam shalat berjamaah. Semoga bermanfaat. Insya Allah, sejumlah persyaratan lain dalam berjamaah yang belum teruraikan di sini akan diuraikan pada kesempatan berikutnya. Wallahu a’lam.
Ustadz M Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Desa Jayagiri, Kecamatan Sukanagara, Cianjur Selatan, Jawa Barat.
0 Comments